BUNUH DIRI
Farid Nu’man Hasan dalam tulisannya menyataakan, tidak kita ragukan lagi bahwa bunuh diri hukumnya termasuk dosa besar. Alloh ta'aalaa berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)النساء
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS.an-Nisaa: 29).
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ تَحَسَّى سَمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَسَمُّهُ فِى يَدِهِ ، يَتَحَسَّاهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Artinya: Barangsiapa minum racun lalu mati, maka racunnya akan berada di tangannya, dia akan meneguknya pada hari kiamat di neraka jahannam dan dia kekal selama-lamanya. (HR.Bukhari: 5778, Muslim: 109)
Banyak dalil yang berkaitan dengan bunuh diri antara lain :
عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ (رواه البخاري)
Dari Tsabit bin Dlahhak ra dari Nabi saw berkata siapa saja yang bunuh diri dengan besi pasti diadzab dengan besi itu di neraka jahannam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw berkata: siapa saja yang menjatuhkan diri dari gunung lalu dirinya terbunuh dengan itu maka dia ada di neraka jahanam dijatuhkan ke dalamnya kekal di sana untuk selamanya, dan siapa saja yang menenggak racun lalu terbunuh dirinya dengan racun itu maka dia akan diadzab dengan racun di tangannya dalam neraka jahanam kekal di dalamnya untuk selamanya, dan siapa saja yang bunuh diri dengan besi maka besi itu akan ada di tangannya menghunjam ke perutnya di neraka jahanam kekal di sana untuk selamanya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ نَفْسَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه الترمذي)
Dari Jabir bin Samurah bahwa seseorang telah bunuh diri maka Nabi saw tidak bersedia shalat jenazah untuk orang tersebut.
Apakah orang yang bunuh diri boleh dishalatkan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini hingga terpolar menjadi tiga pendapat;
Pertama: Tidak disholatkan. Berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh bahwasanya Rasululloh didatangkan seorang jenazah laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka Rasululloh tidak menyolatinya. (HR.Muslim: 978)
Inilah pendapat yang dipilih oleh Umar bin Abdil Aziz dan al-Auza’i. (Lihat Syarah Shohih Muslim 7/47)
Kedua: Disholatkan, Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Hasan, an-Nakho’I, Qotadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’I dan mayoritas ulama.
Mereka menjawab tentang hadits Jabir diatas bahwa apa yang dilakukan Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam hanya sebagai peringatan untuk manusia agar tidak meniru perbuatan orang yang bunuh diri tersebut, bukan karena haram dishalatkan, oleh karenanya para sahabat pun menyolatkannya.
Hal ini persis dengan kasus orang yang punya hutang yang tidak disholati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai peringatan bagi manusia agar jangan menganggap ringan masalah hutang piutang dan tidak meremehkan dalam melunasinya.
Baik punya hutang maupun bunuh diri, para shabat menyolatkan karena melaksanakan perintah rasulullah SAW. Jik seorang muslim meninggal maka wajib dimandikan,dikafani,dishalatkan,dikuburkan
Pada hadirs ini mengandung perintah untuk 4 hal tsb, tidak dirinci msulim yangbagaimana maupun mati yang bagaaimana. Jadi kewajiban 4 hal tsb muslim dalam keadaan bagaimanapun dan meninggalnya dalam keadaan bagaimanapun.
Al-Qodhi 'Iyaadh mengatakan: “Pendapat mayoritas ulama adalah menyolati setiap muslim, baik yang mati karena sebab hukuman pidana, dirajam, bunuh diri atau anak zina”. (Syarah Shohih Muslim 7/47)
Ketiga: Hendaknya tetap dishalatkan namun orang yang terpandang dari kalangan ahli ilmu tidak menyolatinya
Ini adalah pendapat Malik dalam salah satu riwayat dan selainnya. (Lihat Syarah Shohih Muslim 7/47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah condong mengikuti pendapat ini dan berkata: “Boleh bagi manusia umum untuk menyolatinya, adapun para pemuka agama yang menjadi panutan, seandainya mereka tidak menyolatinya sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain sebagaimana yang dilakukan Nabi maka ini adalah benar( Majmu’ Fatawa 24/289)
Pendapat ini dikuatkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam al-Janaaiz hal.83-84. Allohu A’lam. (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah 1/646-647)
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ نَفْسَهُ قَالَ إِذَنْ لَا أُصَلِّيَ عَلَيْهِ (رواه احمد)
Dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi saw diberi kabar bahwa ada seseorang yang bunuh diri. Beliau berkata : jika begitu aku tidak akan shalat jenazah baginya.
Berdasarkan hadits pertama dan kedua dapat dipahamkan bahwa seorang muslim yang bunuh diri maka status kemusliman dia hilang dan jatuh jadi kafir. Hal ini ditunjukkan oleh bagian hadits :خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا, sehingga umat Islam haram melakukan shalat jenazah bagi orang itu karena dia telah kafir.
Ketentuan yang dapat dipahamkan dari hadits pertama dan kedua tersebut ternyata ditunjukkan secara manthuq (tekstual) oleh hadits ketiga dan keempat yakni ucapan dan sikap Rasulullah saw saat ada orang bunuh diri:
فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَdanإِذَنْ لَا أُصَلِّيَ عَلَيْهِ.
Bunuh diri termasuk dosa besar.Terdapat ancaman keras terhadap pelakunya. Tetapi ia belum keluar dari Islam, menurut keyakinan Ahlus Sunnah Waljama'ah. Bagi kaum muslimin boleh/disyariatkan menshalatkannya berdasarkan nash yang sangat jelas tentang bolehnya hal itu, walaupun bagi tokohnya dari kalangan ulama dan pemuka untuk tidak menshalatkannya sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan pelakunya dan pencegahan terhadap yang selainnya.
Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang membunuh dirinya dengan menggunakan Masyaaqis, [1] lalu Beliau tidak menshalatkannya. (HR. Muslim No. 978, At Tirmidzi No. 1068, Abu Daud No. 3185, Ahmad No. 20816, 20848)
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'Anhu berkata:
أُتِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
"Ada seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah dibawa kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau tidak mau menyalatkannya." (HR. Muslim)
Imam Al-Nawawi rahimahullah dalam menjelaskan hadits ini mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi berpendapat tidak dishalatkannya orang yang bunuh diri karena maksiatnya. Ini adalah madhab Umar bin Abdul Aziz dan al-Auzai.
Sementara pendapat al-Hasan (al-Bashri), al-Nakha'i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, al-Syafi'i, dan jumhur( mayoritas) ulama: ia shalatkan. Mereka menjawab hadits ini, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menyalatkannya sebagai peringatan bagi manusia agar tidak berbuat seperti dia, sedangkan para sahabat tetap menyalatkannya. Kasus ini seperti saat Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mau menyalatkan orang yang masih meninggalkan hutang, sebagai peringatan bagi mereka agar tidak gampang
berhutang dan meremehkan membayar hutang, namun beliau tetap memerintahkan sahabatnya untuk tetap menyalatkannya, beliau bersabda: Shalatkan sahabat kalian ini."
Kemudian Imam al-Nawawi menukil perkataan al-Qadhi 'Iyadh, "Madhab ulama secara keseluruhan: menyalatkan atas setiap muslim yang (mati karena) had, dirajam, bunuh diri, dan anak zina. Keterangan dari Imam Malik dan lainnya, seorang imam (ulama/pemimpin) tidak ikut menyalatkan orang yang dibunuh karena had sebagaimana orang terpandang (mulia) tidak menyalatkan orang fasik sebagai peringatakan bagi mereka."
KESIMPULAN
Pada ringkasnya, orang yang mati bunuh diri, -menurut pendapat yang rajih- tetap dishalatkan, walaupun ia benar-benar sehat akalnya dan sadar atas setiap apa yang ia ucapkan dan perbuat. Inilah pendapat madhab Syafi'i, Hambali, Hanafi, Maliki, dan Zahiri.Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu':
من قتل نفسه أو غل في الغنيمة يغسل ويصلى عليه عندنا وبه قال أبو حنيفة ومالك وداود وقال احمد لا يصلى عليهما الامام وتصلى بقية الناس
"Siapa yang bunuh diri atau curang (menilep) ghanimah, menurut madhab kami, ia dimandikan dan dishalatkan.Ini juga madhab Abu Hanifah, Malik Dawud. Imam Ahmad berkata: Imam tidak menyalatkan keduanya sementara kaum muslimin yang lainnya tetap menyalatkannya."
Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla, " . . . dan dishalatkan setiap muslim yang baik atau yang jahat; yang dibunuh karena had, peperangan, atau dalam pemberontakan. Imam dan selainnya juga menyalatkan mereka walaupun ia seburuk-buruk manusia di atas bumi, (yakni) apabila ia meninggal sebagai muslim."
juga didasarkan pada keumuman perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Shalatkanlah sahabat kalian." Dan seorang muslim adalah sahabat kita. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Dan juga, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain." (QS. Al-Taubah: 71)
Sesungguhnya orang fasik selama masih muslim sangat-sangat membutuhkan doa saudaranya yang seiman, yakni kaum mukminin. Terlebih istighfar mereka. Dan doa serta istighfar mereka benar-benar bermanfaat bagi si fasik tadi selama masih muslim. Karenanya jika ada seorang muslim, -yang karena lemah imannya, ia bunuh diri-, tetaplah disyariatkan untuk menyalatkannya.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebab, disebutkan dalam riwayat lain bahwa ada beberapa keadaan manusia yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau shalatkan, ternyata walau Beliau tidak menshalatkan, Beliau tetap memerintahkan sahabatnya untuk menshalatkan.
Dari Zaid bin Khalid Al Juhni Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada perang Khaibar, mereka melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Beliau bersabda: “Shalatlah kalian terhadap sahabat kalian. ( maksudnya Nabi tidak menyalatkan )” Maka berubahlah wajah manusia karena itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sahabat kalian ini berkhianat dalam jihad fisabilillah, maka kami menggeledah perhiasannya, lalu kami menemukan kharazan (susunan permata) dari orang Yahudi, yang tidak setara dengan dua dirham.” (HR. Abu Daud No.2710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ahkamul Janaiz, Hal. 79, No. 58)
Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)
Tentu, jika menshalatkan mereka adalah perbuatan terlarang sama sekali pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga akan melarang para sahabatnya untuk menshalatkan. Faktanya, justru Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk shalat jenazah kepada mayit tersebut. Ini menunjukkan bolehnya menshalatkan orang yang berbuat curang dalam jihad, berhutang, dan –dengan jalan qiyas- juga orang yang bunuh diri. Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak mau menshalatkan, hal itu bermakna sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan hal serupa dan ketidaksukaannya terhadap perbuatan itu.
Ada pun bagi orang yang tidak mau menshalatkannya karena meyakini tidak boleh menshalatkannya, maka dia tidak salah menurut keyakinannya itu, dan tidak boleh diingkari. Ada pun orang yang tidak menshalatkan walau dia meyakini kewajiban shalat jenazah atas orang bunuh diri, maka dia tidak berdosa selama sudah ada orang yang menshalatkannya, karena ini fardhu kifayah. Demikian
MUSLIM
YANG TIDAK SHALAT DAN TIDAK SHIYAM RAMADHAN
JIKA MENINGGAL DISHALATKAN ATAU TIDAK
Apa hukum orang yang mati dalam keadaan tidak pernah melaksanakan shalat (lima waktu) padahal diketahui bahwa kedua orang tua dari si mayit tersebut adalah muslim?
1. Pendapat pertama , orang tersebut dianggap kafir
Pendapat Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz, Barangsiapa yang mati dari seorang mukallaf (yang telah dikenai berbagai kewajiban syari’at), lalu ia tidak pernah mengerjakan shalat, maka ia kafir. Ia tidak perlu dimandikan, tidak perlu dishalati, tidak perlu dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, dia pun tidak saling mewarisi dengan kerabatnya (hartanya nanti diserahkan kepada baitul maal kaum muslimin), pernikahannya batal, jadi selamanya ia melakukan zina, inilah pendapat terkuat dari berbagai pendapat ulama.
a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Di antara pembatas antara kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim)
b. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kaum muslimin dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat.Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir.” (HR. Ahmad dan ahlus sunan dengan sanad yang shahih dari hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu)
‘Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqili –seorang tabi’in yang terkemuka-, pernah mengatakan, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat”. Seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya, maka ia kafir dan murtad (keluar dari Islam) menurut mayoritas ulama.[Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10/250]
Muslim yang tidak pernah shalat
Kalau remaja sudah malas-malas melaksanakan shalat, maka bisa jadi dicap bukan muslim. Karena sebagaimana kata Umar, orang yang meninggalkan shalat bukanlah muslim.
Ibnu Zanjawaih mengatakan, ” ’Amr bin Ar Robi’ telah menceritakan pada kami, (dia berkata) Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) dari Yusuf, (dia berkata) dari Ibnu Syihab, beliau berkata,” ’Ubaid bin Abdillah bin ‘Utbah (berkata) bahwa Abdullah bin Abbas mengabarkannya,”Dia mendatangi Umar bin Al Khoththob ketika beliau ditikam (dibunuh) di masjid. Lalu Ibnu Abbas berkata,”Aku dan beberapa orang di masjid membawanya (Umar) ke rumahnya.”
Lalu Ibnu Abbas berkata, ”Lalu Abdurrahman bin ‘Auf diperintahkan untuk mengimami orang-orang.”
Kemudian beliau berkata lagi, ”Tatkala kami menemui Umar di rumahnya, maut hampir menghampirinya. Beliau tetap dalam keadaan tidak sadar hingga semakin parah.Lalu (tiba-tiba) beliau sadar dan mengatakan,”Apakah orang-orang sudah melaksanakan shalat?”Ibnu Abbas berkata, ”Kami mengatakan,’Ya’.Lalu Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah disebut Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”Lalu Umar meminta air wudhu, kemudian beliau berwudhu dan shalat.(Dikeluarkan oleh Malik.Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman.Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209)
Juga dikatakan yang demikian itu oleh semua sahabat yang hadir. Mereka semua tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Umar.
Perkataan semacam ini juga dapat dilihat dari perkataan Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan tidak diketahui sahabat yang menyelisihinya.
Al Hafidz Abdul Haq Al Isybiliy rahimahullah dalam kitabnya mengenai shalat, beliau mengatakan, ”Sejumlah sahabat dan orang-orang setelahnya berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu kafir karena sebab meninggalkan shalat tersebut hingga keluar waktunya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Umar bin Al Khaththab, Mu’adz bin Jabbal, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Abud Darda’, begitu juga diriwayatkan dari Ali dan beberapa sahabat.”
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”
Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
2. Pendapat kedua, tetap dishalatkan. Alasannya Antara lain :
a. Orang yang baru bersyahadat, belum melakukan rukun yang lain , shalat dan shiyam ramadhan sudah dianggap muslim.
صحيح البخاري ٥٣٧٩: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ وَهُوَ نَائِمٌ ثُمَّ أَتَيْتُهُ وَقَدْ اسْتَيْقَظَ فَقَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا قَالَ وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّقَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ هَذَا عِنْدَ الْمَوْتِ أَوْ قَبْلَهُ إِذَا تَابَ وَنَدِمَ وَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ غُفِرَ لَهُ
Shahih Bukhari 5379: Abu Dzar radliallahu 'anhu telah menceritakan kepadanya, dia berkata; "Saya pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sementara beliau sedang tidur sambil mengenakan baju putih, lalu aku datang menemuinya dan beliau pun terbangun, beliau bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan "LA ILAAHA ILLALLAH" kemudian mati karena itu melainkan ia akan masuk surga." Tanyaku selanjutnya; "Walaupun dia berzina dan mencuri?" beliau menimpali: "Walaupun dia pernah berzina dan mencuri." Tanyaku lagi; "Walaupun dia pernah berzina dan mencuri?" beliau menjawab: "Walaupun dia pernah berzina dan mencuri." Tanyaku lagi; 'Walaupun dia pernah berzina dan mencuri?" beliau menjawab: "Walaupun dia pernah berzina dan mencuri." -walaupun sepertinya Abu Dzar kurang puas- Apabila Abu Dzar menceritakan hal ini, maka dia akan mengatakan; "Walaupun" sepertinya Abu Dzar kurang puas. Abu Abdullah mengatakan; "Hal ini jika terjadi ketika seorang hamba itu meninggal atau sebelum dia meninggal lalu bertaubat dan menyesali perbuatannya serta mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAH", maka dosa-dosanya akan terampuni."
b. Mengingat keumuman perintah Nabi , jika muslim meninggal maka mandikan, kafani, shalatkan dan kuburkan. Tidak dirinci muslim yang kondisinya amal ibadahnya seperti apa, meninggalnya bagaiaman apakah terbatas muslim yang mati wajar, musibah atau bunuh diri. Jadi memandikan, mengkafani, menyalatkan kemudian menguburkan muslim adalah melakukan kewajiban ( perintah ) Nabi. Sebagaiman sudah diterangkan pada bab bunuh diri diatas. Baca lagi pada KESIMPULAN no 3.
c. Hadits
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Di antara pembatas antara kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim)
Kata kafir disini adalah bukan sebagai hakekat kafir sebenarnya namun dianggap kafir. Sebagaimana hadits yang menerangkan orang yang selalu shalat lima waktu, namun sengaja tidak shalat jumat 3 kali berturut turut, maka hukumnya ( dianggap ) kafir.
d. Juga haditsRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sesungguhnya shalat yang dirasa terberat dikerjakan bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh.
Bila saja mereka mengetahui keutamaan keduanya, pastilah mereka akan mendatangi sekalipun merangkak...”
(HR. Al-Bukhari: 657, Muslim: 651)
e. Siksa orang kafir dengan siksa orang munafiq , maka lebih berat siksanya orang munafiq. Sehingga Allah berfirman bahwa orang munafiq itu tempatnya neraka yang paling bawah. Ini bisa diartikan orang kafir diatas munafiq, menggambarkan siksanya lebih ringan dibanding munafiq, dalam QS An Nisak ( 4 ) :
135يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
145. Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
Lalu bagaimaana sekiranya tidak shalat dihukumi benar benar kafir, sedang yang rajin shalat, hanya malas tidak berjamaah Isyak daan Shubuh dianggap munafiq ?
Makalah dari berbagai sumber dikoleksi oleh m. busyrowi abdulmannan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar